Cerita Masa Remaja

Hi, apa kabar kehidupan? Di tengah penatnya rutinitas, kepenatanku pada sosial media dan berita- berita tidak mengenakan, aku ingin sekali kabur sejenak dan bernostalgia lagi dengan hal- hal sederhana dikehidupanku. Sudah lama pula aku tidak menulis. Terakhir kali menulis, sekitar beberapa bulan yang lalu, dan saat itu aku memulai lagi dengan bercerita tentang kucingku, Miska, yang begitu cepat pergi. Hari ini, aku ingin sekali bercerita tentang kebaperanku setelah menonton Petualangan Sherina 2 yang rilis sekitar akhir September lalu. Kisahnya membuatku berputar- putar dengan kenangan masa remajaku yang tidak seindah di film- film tapi sedikit membuatku tersenyum- senyum setiap kali mengingatnya.

Ceritanya berawal dari masa SD. Saat itu, novel Harry Potter selalu jadi perbincangan diantara teman- teman satu sekolah. Aku yang saat itu belum mampu membeli novelnya, hanya bisa ikut nimbrung. Sampai pada akhirnya, saat film pertamanya rilis pada tahun 2001 dan berlanjut dengan sekuel-sekuelnya yang berjumlah 8 film, aku baru bisa menikmati alur ceritanya. Harry Potter lah yang menemani masa remajaku hingga aku kuliah. Berawal dari semua itu, aku pun mulai berkhayal seandainya hidupku bisa seperti film Harry Potter. Aku bermimpi menjadi Hermione yang memiliki seorang atau dua orang sahabat laki- laki dan kami memulai sebuah petualangan seru layaknya di film-film.

Tapi mimpi hanyalah sekedar mimpi. Setelah melalui berbagai proses kehidupan, aku bertemu dengan banyak teman baru di SMP dan sempat melupakan keinginan kecil yang tidak terlalu penting itu. Hingga suatu ketika semesta seakan menjawab mimpi itu ketika aku pindah ke Papua, mengikuti kedua orang tuaku.

Perubahan kultur yang sangat mencolok, membuatku lebih lama menyesuaikan diri dengan kondisi sekolah dan teman- teman yang baru lagi. Aku jadi lebih suka menyendiri, walau terkadang ada beberapa teman kelas yang baik hati mengajakku membeli jajan di kantin atau mengajakku bercerita, berbagi cerita tentang pengalamanku di sekolah lama ku di Jogja. Fyi, aku pindah ke Papua ketika pertengahan kelas 1 SMP.

Pada saat itu, aku merasa belum menemukan teman yang cocok. Aku jadi lebih suka menghabiskan waktuku untuk belajar, belajar dan belajar hingga pada akhirnya aku terpilih untuk mengikuti olimpiade matematika tingkat kabupaten, yang mungkin akan mustahil aku ikuti ketika aku bersekolah di Jogja karena banyaknya saingan. Dari sinilah, pada akhirnya, semesta seakan menjawab khayalanku yang sempat terlupakan.

Selama SMP, aku mengikuti 3 kali olimpiade matematika tingkat kabupaten. Baik di Olimpiade pertama, kedua maupun ketiga, aku hanya berhasil maju sampai tingkat kabupaten. Dan saat itu aku sudah merasa sangat senang karena bisa jalan- jalan ke Jayapura dan membeli buku di Gramedia. Kebetulan aku tinggal di sebuah Pulau kecil di sisi utara Papua, yang dikenal dengan Pulau Serui (sekarang lebih dikenal dengan Kabupaten Kepulauan Yapen), dengan segala keterbatasannya akan fasilitas terutama toko buku.

Di olimpiade kedua inilah aku bertemu dengan Febri (nama samaran). Dia seperti penyelamat yang hadir di tengah harapan akan seorang teman, dan pertemuan dengannya itu dipersatukan juga oleh novel Harry Potter.

Generated by AI. by Bing

Awal pertemuan kami tanpa ekspektasi. Saat itu kami bertemu ketika seleksi olimpiade antar SMP se-kabupaten Kepulauan Yapen. Ini adalah kedua kalinya aku ikut olimpiade. Kami berbeda sekolah, ia mewakili sekolahnya untuk bidang biologi, dan aku mewakili sekolahku untuk bidang matematika. Pada saat itu kebetulan hanya dipilih satu perwakilan saja untuk setiap bidang (Biologi, Matematika dan Fisika).

Awal mulanya, saat kami sedang menunggu waktu ujian seleksi, aku penasaran dengan seorang anak laki- laki berperawakan tidak terlalu tinggi yang belum pernah kulihat sebelumnya, yang sangat ramah pada semua orang, yang saat itu tengah bercakap- cakap dengan teman satu sekolahnya. Aku yang anak baru ini menjadi ciut nyalinya. Hingga pada akhirnya, aku, anak itu, yang kemudian kutahu namanya Febri serta satu teman sekolahku bernama Dwi (nama samaran) terpilih untuk mewakili kabupaten. Aku cukup senang saat itu, bukan karena akan satu perjalanan dengannya tapi karena aku akan ke Jayapura lagi.

Kami bertiga akhirnya berangkat dengan didampingi oleh salah seorang Guru dari sekolahku, Pak Edi, dan ibu temanku, Dwi, yang kebetulan ingin ikut karena khawatir dengan kami yang hanya ditemani oleh seorang guru saja. Akhirnya kami berangkat dengan menggunakan kapal penumpang dan mengambil kamar kelas 2B. Aku sekamar dengan ibu Dwi, sementara Pak Edi, Febri dan Dwi di kamar yang lain. Aku dan Dwi, meskipun satu sekolah, tapi kami tidak terlalu akrab, sehingga sejujurnya aku merasa sangat canggung.

Sebenarnya, yang membuat aku merasa asing di sekolah karena semua teman di sana sudah saling mengenal sejak dari mereka kecil. Karena Pulau Serui yang tidak terlalu besar itulah penyebabnya. Dan jumlah sekolah di sana bisa dihitung jari. Jadi, kabar burung apapun tentang siapapun akan tersebar dengan cepat. Begitupun Dwi dan Febri yang juga secara tidak langsung sudah saling mengenal satu dengan lainnya meski beda sekolah. Dan aku pun merasa terasing.

Selama perjalanan, kami tidak saling sapa, mungkin karena kamar kami yang terpisah dan saat itu kebetulan Febri sedang tidak enak badan sehingga jarang keluar kamar. Aku lebih sering bertemu dengan Dwi dan Pak Edi. Hingga tiba di Jayapura, kami sempat berada dalam mobil yang sama, tapi kemudian terpisah karena Febri memilih tinggal di rumah saudaranya, dan kami berempat (Aku, Dwi, Pak Edi dan Ibu Dwi) menginap di Hotel yang sudah dipesan sebelumnya. Aku sedikit lupa bagaimana kami memulai percakapan intens satu dengan lainnya, tapi mungkin saat olimpiade berlangsung. Saat itu kami bertiga terlihat kompak meskipun baru saling mengenal. Sepertinya saat itu, aku dan Febri mulai bertukar nomor hp.

Entah kenapa aku lebih nyaman berbincang lebih banyak dengan Febri ketimbang Dwi, padahal intensitas pertemuan aku dan Dwi lebih banyak. Mungkin karena Dwi terlalu jahil dan seringkali tidak bisa diajak ngomong serius. Sementara Febri lebih ramah dan entahlah rasanya kami punya koneksi yang tidak bisa dijelaskan. Dan akupun memberanikan diri untuk memulai duluan.

Saat itu, saat kami sedang jalan- jalan membeli oleh- oleh, seperti biasa Febri tetap tidak ikut jalan- jalan bersama kami. Aku mencoba untuk memulai sms terlebih dulu ke ponsel Febri, mengirimkan sedikit lelucon yang mungkin kalau diingat lagi aku ingin muntah rasanya. Dan kami pun terus menerus saling membalas pesan. Aku pun mulai baper karenanya. Tapi, karena kebernaianku itu, aku menjadi semakin dekat dengan Febri. Kami jadi lebih sering memberi kabar walau hanya melalui pesan teks (sms), dan terkadang saling telepon. Seringkali, Febri yang lebih dahulu menelepon ku dan kami pun saling bercerita hingga lupa waktu. Aku ingat pada saat itu, aku mengirimkan pesan jika aku ingin menjadi sahabatnya (walaupun dalam hati sebenarnya aku ingin lebih dekat dengannya), dan kalau diingat, lagi- lagi aku ingin muntah.

Mungkin ceritaku ini akan sangat panjang dan sedikit membosankan. Setidaknya aku bisa menyimpan sedikit memori masa remaja selama hidupku sebagai Fira di masa sekarang. Dan banyak sekali memori cinta monyet yang sebenarnya aku alami mulai dari SD hingga SMA. Tapi memoriku bertemu dengan Febri adalah memori paling berkesan dari sekian banyak memori yang aku punya. Dia dan segala anganku tentangnya (argh) menemaniku bertumbuh sejak dari SMP, SMA, hingga Kuliah.

Aku pun pernah teramat patah hati ketika Febri dengan semangatnya bercerita kalau dia berhasil nembak anak SMP lain, yang pada akhirnya jadi teman SMA ku dikemudian hari. Aku pun pernah merasa teramat deg- degan ketika setelah sekian lama, setelah Febri memutuskan melanjutkan SMA nya di Jayapura, dan akhirnya dia menemui kami (aku dan temanku Marwah, yang merupakan sahabat mantannya yang pernah dia ceritakan begitu semangat padaku kala itu) di sebuah asrama di Jayapura (lagi- lagi aku berhasil mewakili kabupaten untuk olimpiade tingkat SMA).

Dan di penghujung masa SMA ku, saat ia tengah pulang ke Serui, Febri memberikan aku kenang- kenangan berupa gambar tangan yang ia buat, yang masih tersimpan di dalam map (sampai sekarang), dan aku membalasnya dengan memberikannya pensil warna (aneh sekali). Dan sampai hari ini, aku masih bersemangat untuk membuat cerita ini. Dan kami pun punya cita- cita yang saling berkebalikan hingga akhirnya aku yang menjadi arsitek dan dia yang menjadi dokter.

Aku tidak pernah tahu apa yang dirasakannya ketika bertemu dengan anak perempuan super aneh sepertiku, yang sangat pemalu, seringkali tidak mudah dipahami jalan pikirannya. Mungkin biasa saja seperti pada temannya kebanyakan. Atau punya kesan yang sama. Namun, sampai hari ini sepertinya komunikasi kami pun sudah tidak berjalan dengan baik. Aku yang sibuk dengan kuliah dan pencapaian- pencapaianku, begitupun dengannya. Sesekali pernah kucoba membuka facebook dan menemukan pesannya berupa ucapan selamat ulang tahun atau sekedar ucapan lebaran. Setelahnya tidak ada percakapan lebih panjang dan berakhir dengan kecanggungan. Dan akupun tidak bisa berharap banyak dengan hubungan kami karena perbedaan agama yang kami yakini. Yah mungkin semua ini hanya menjadi kenangan, seperti kisah- kisahku sebelumnya di Melankoli Rasa (saat kuliah) dan My Short Story 2 (saat SMA).

Semoga saja diri ini bisa menemukan orang yang tepat yang bisa berbagi suka dan duka hingga menua bersama. Tidak selalu sempurna yang penting saling menerima. Terima kasih semesta, engkau pertemukanku dengan orang- orang yang baik. Semoga berbahagia untuk setiap perjalananmu, wahai Pak Dokter yang sekarang sedang berjuang. Semoga kita bisa bertemu kembali dan mendewasa dalam kehidupan kita masing- masing.

Tinggalkan komentar